Kamis, 29 Juli 2010

Habib Usman bin Yahya

Di Jakarta pada pertengahan abad 18 muncul seorang habaib karismatik. Ia adalah Habib Usman bin Yahya, yang pernah menjadi mufti Batavia di zaman Belanda.

Para habib, khususnya ulamanya, sejak ratusan tahun punya hubungan akrab dengan para ulama, kiai, santri, dan ustadz asli Betawi. Sejak datang dari Hadramaut pada abad ke-18, dan puncaknya pada akhir abad ke-19, mereka mendapat tempat yang baik di hati para ulama Betawi. Bahkan ada yang mengatakan, kehadiran mereka ibarat siraman darah segar bagi perkembangan Islam di tanah air.

Salah satu saksi bisu atas kehadiran para ulama habaib itu ialah Kampung Pekojan, tidak jauh dari China Town di Glodok, Jakarta Barat. Sampai 1950-an, mayoritas warga Pekojan terdiri dari keturunan Arab. Tapi belakangan, juga sampai saat ini, keturunan Arab di Pekojan menjadi minoritas, sebab sebagian besar hijrah ke kawasan selatan, seperti Tanah Abang, Jati Petamburan, Jatinegara, dan kini Condet.Jejak-jejak peninggalan Islam masih bisa kita temukan di sana. Lihatlah misalnya Masjid An-Nawir (1760) yang lebih dikenal dengan Masjid Pekojan. Di belakang masjid terdapat makam pendirinya, Syarifah Fatmah. Pada akhir abad ke-19, masjid tersebut diperluas oleh Sayyid Abdullah bin Husein Alaydrus, tuan tanah yang namanya diabadikan sebagai nama jalan, yaitu Jalan Alaydrus, tempat ia dulu pernah bermukim.

Di masjid inilah, Habib Usman bin Yahya, mufti Batavia, mengajar dan memberikan fatwa sebelum pindah ke Jati Petamburan. Ia memang dilahirkan di Pekojan. Ayahnya bernama Habib Abdullah bin Yahya. Ia kemudian menjadi menantu seorang ulama Mesir yang juga bermukim di Pekojan, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Ahmad Al-Misri. Ia diangkat sebagai mufti setelah selama belasan tahun belajar ilmu agama di 22 negara. Sebagai pengarang kitab yang produktif, karyanya lebih dari 100 kitab, tebal maupun tipis.

Beberapa kitabnya ada yang dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat. Kitabnya yang populer antara lain Sifat Duapuluh dan Asyhadul Anam. Habib Ustman adalah guru Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi (Habib Kwitang), ulama besar yang 80 tahun silam mendirikan majelis taklim di kediamannya, yang kemudian sangat terkenal.

Habib Usman bin Abdullah Bin Yahya lahir di Pekojan, Jakarta tepatnya pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H (1822 M). Ayahnya bernama Habib Abdullah bin Agil bin Umar Bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Asy-Syaikhah Aminah binti Abdurrahman Al-Mishri. Pada usia tiga tahun, ketika ayahnya kembali ke Mekah, ia diasuh oleh kakeknya, Abdurrahman al-Misri, yang mengajarinya dasar-dasar ilmu agama, bahasa Arab dan ilmu falak.

Pada usia 18 tahun, setelah kakeknya meninggal, ia menunaikan ibadah haji dan berjumpa dengan ayah serta familinya. Disana, selama tujuh tahun, ia belajar agama kepada ayahandanya dan kepada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah.

Pada tahun 1848 M beliau kemudian meneruskan perjalanan beliau untuk menuntut ilmu. Berangkatlah beliau ke Hadramaut. Disana beliau menuntut ilmu kepada Habib Abdullah bin Husin Bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar Bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri, Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahar.

Selepas dari menuntut ilmu di Hadramaut, keinginannya untuk selalu menuntut ilmu seakan tak pernah pupus dan luntur. Habib Usman kemudian meneruskan perjalanannya ke Mesir dan belajar di Kairo selama 8 bulan. Dari Kairo lalu meneruskan perjalanan ke Tunisia dan berguru kepada Asy-Syaikh Abdullah Basya. Dilanjutkan ke Aljazair dan berguru kepada Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Maghrabi. Ia juga melakukan perjalanan ke Istambul, Persia, dan Syria. Setelah itu kemudian kembali ke Hadramaut. Dalam perjalanannya ke beberapa negara tersebut, beliau banyak mendapatkan berbagai macam ilmu, seperti Fikih, Tasawuf, Tarikh, ilmu Falak, dan lain-lain.

Pada tahun 1862 H (1279 M), ia kembali ke Batavia (Jakarta) dan menetap disana. Di Batavia ini, ia diangkat menjadi mufti menggantikan Syeikh Abdul Ghani, mufti sebelumnya yang telah lanjut usia. Pada tahun 1899-1914 diangkat sebagai Adviseur Honorer untuk urusan Arab di kantor Voor Inlandsche Zaken.

Sebagai seorang ulama yang mumpuni, ia sangat produktif mengarang banyak buku. Buku-buku yang ia karang sebagian besar tidaklah tebal, akan tetapi banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam masyarakat muslim tentang syariat Islam. Sebagai ulama, ia kenal sangat kritis dalam menyikapi persoalan-persoalan yang berkembang di tengah masyarakat.

Ketika ia menyatakan sikapnya yang tidak setuju, ia selalu melampiaskannya lewat buku. Ia sangat produktif, karyanya puluhan. Pandangannya yang sangat tegas-keras dalam soal fikih mendorong Sayid Usman terlibat dalam berbagai polemik dengan sesama ulama, bahkan dengan pemerintah Hindia Belanda.

Polemiknya yang paling keras, antara lain, dengan Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, juga dengan beberapa ulama Betawi. Salah satu hal yang ia polemikkan dengan Syeikh Ahmad Khatib ialah penentuan arah kiblat masjid di Palembang. Ia mengutip kitab Tahrir al-Aqwadillah karya Syeikh Arsyad al-Banjari dari Banjarmasin sebagai jawaban atas penentuan arah kiblat.

Sebagian besar karya Sayid Usman berbahasa Melayu dan Arab, baik berupa selebaran maupun brosur, rata-rata sekitar 20 halaman. Umumnya berisi jawaban atas berbagai peroalan umat pada saat itu. Pada 1873 ia menulis kitab Taudzibu al-Adillah ‘ala Syuruthi Syuhudi al-Ahillah. Buku ini membahas, dan memberikan jalan keluar, mengenai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Islam Jakarta waktu itu mengenai hari pertama bulan Ramadhan.

Pada 1881 ia menulis kitab Al-Qawaninu as-Syari’ah li ahli al-Majalisi al-Hukmiyati wal ‘Iftiayati. Buku berbahasa Arab ini mempersoalkan menipisnya pengetahuan agama, khususnya ilmu fikih, di kalangan para penghulu saat itu. Buku itu laris, sehingga harus dicetak ulang dengan mesin litografi ukuran kecil milik Sayid Usman sendiri. Dengan mesin cetak sederhana itulah ia menyebar-luaskan pemikiran-pemikiran agama. Sikapnya yang tegas-keras memancing polemik dengan beberapa ulama yang lain.

Dalam bukunya Risalah Dua Ilmu, beliau membagi ulama menjadi 2 macam, yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia tidak ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh. Sedangkan ulama akhirat adalah orang ikhlas, tawadhu, berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apa-apa, hanya lillahi ta'ala dan ridha Allah semata-mata.

Ia menjadi guru yang alim dan telah berhasil mendidik banyak murid-murid di Batavia waktu itu. Tak sedikit diantara mereka di kemudian hari menjadi ulama besar, seperti Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Kwitang, Jakarta.

Selain keras dalam hal agama, Sayid Usman juga punya perhatian di bidang politik. Tapi sikapnya cukup kontroversial, terutama sikapnya mengenai jihad dan perang sabil, khususnya mengenai huru-hara melawan Belanda di Cilegon, Banten. Meski Sayid Usman punya alasan kuat dalam hujah-nya, banyak ulama yang mencibirnya sebagai antek penjajah. Apalagi sikapnya yang sangat menentang praktik-praktik mistik, sebagaimana ia tulis dalam kitab Manhaj al-Istiqamah.

Seorang pengamat Islam Indonesia, Karel Steenbrink menulis, “Pembaharuan Sayid Usman memang lebih terbatas dibanding pembaharuan yang dilakukan Syarekat Islam atau Muhamadiyah, sebab relevansi politik dan sosialnya sama sekali belum ada. Meski terbatas pada pembaharuan bidang ibadah, interpretasi fikih untuk urusan-urusan kecil dan beberapa peroalan akidah, Sayid Usman adalah seorang pembaharu.”

Di mata orientalis Belanda, Snouck Hourgronje, Sayid Usman adalah ulama pembaharu. Bahkan ketika ia dihantam oleh para ulama gara-gara kedekatannya dengan kolonial Belanda, Snouck tetap membelanya. Tetapi hal itu justru meneguhkan sikap Sayid Usman untuk keluar dari gelanggang politik.

Dalam tulisannya di harian De Locomotif edisi 11 Juli 1890, Snouck menulis, ”Beberapa waktu lalu kami telah minta perhatian terhadap buah karya baru Sayyid Uthman bin Abdillah al-Alawi dari Betawi yang tak kenal lelah, yaitu serangkaian pelajaran yang berguna yang ditujukannya buat orang-orang sebangsanya yang bermukim di sini; dan untuk tujuan tersebut ditempelkannya di berbagai mesjid Betawi. Pena dan mesin cetak litografi Syaid Usman telah menghasilkan karya yang besar.”

Dalam suratnya tertanggal 14 Maret 1890, Snouck menulis mengenai sikap Sayid Usman yang menentang keras keikut-sertaan kaum muslimin dalam praktik-praktik maksiat. Antara lain Snouck menulis, ”….beberapa peraturan tentang agama dan akhlak, yang pematuhannya dianjurkan oleh Sayyid Uthman kepada kaum muslimin, antara lain keikut-sertaan mereka dalam musik, minuman, dan tari-tarian…”

Sementara dalam surat tertanggal 26 Maret 1891, orientalis Belanda itu menulis mengenai sikap Sayid Usman tentang jihad yang menurutnya ditafsirkan secara salah: ”Banyak orang ‘disesatkan’ oleh beberapa ajaran syariat tentang jihad, dan mereka menyangka bahwa seseorang dapat mempertanggung-jawabkan suatu tindakan di hadapan Allah jika orang tersebut sebagai muslim mengambil harta orang-orang kafir, Cina ataupun Belanda untuk dirinya sendiri…”
Sayid Usman wafat pada 1331 H (1913 M), jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Namun di kemudian hari, saat ada penggusuran makam pihak keluarga berusaha memindahkan tanah kuburnya ke Pondok Bambu. Sekarang makamnya masih terpelihara dengan baik di sebelah selatan masjid Al-Abidin, Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Al-Habib Syech"Habib BOTOPUTIH Surabaya "

Al-Habib Syech yang asli kelahiran Hadramaut Yaman ini dulu pernah dipanggil oleh raja Sumenep yang bernama Tjakronegoro, karena tempat yang menjadi makam tersebut adalah dulunya kerajaan, karena direbut oleh Belanda, maka Raja Sumenep tersebut meminta tolong dan sekaligus mengangkat Al-Habib Syech menjadi gurunya, kemudian Habib Syech berhasil merebut kerajaan tersebut sampai dengan Allah SWT memanggilnya, sehingga Habib Syech dimakamkan di kerajaan tersebut.

Makam Habib Syech bin Ahmad Bin Abdullah Bafagih ini berdua dengan adik beliau yang bernama Habib Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Bafagih.
Makamnya sering didatangi banyak peziarah dari penjuru dunia, setiap bulan Syawal pada hari Kamis kedua sering diadakan Haul Ba'da Asar.

Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan

Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin ‘Umar bin ‘Abdullah (BinJindan) bin Syaikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab 1324. Memulakan pengajiannya di Madrasah al-Khairiyyah, Surabaya sebelum melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah. Berguru dengan ramai ulama. Seorang ahli hadis yang menghafal 70,000 hadis (i.e. ada yang mengatakan ratusan ribu hadis). Beliau juga seorang ahli sejarah yang hebat, sehingga diceritakan pernah beliau menulis surat dengan Ratu Belanda berisikan silsilah raja-raja Belanda dengan tepat. Hal ini amat mengkagumkan Ratu Belanda, lantas surat beliau diberi jawaban dan diberi pujian dan penghargaan, sebab tak disangka oleh Ratu Belanda, seorang ulama Indonesia yang mengetahui silsilahnya dengan tepat. Tetapi tanda penghargaan Ratu Belanda tersebut telah dibuang oleh Habib Salim kerana beliau tidak memerlukan penghargaan.

Dalam usaha dakwahnya, beliau telah mendirikan madrasah di Probolinggo serta mendirikan Majlis Ta’lim Fakhriyyah di Jakarta, selain merantau ke berbagai daerah Indonesia untuk tujuan dakwah dan ta’lim. Mempunyai ramai murid antaranya Kiyai Abdullah Syafi`i, Habib Abdullah bin Thoha as-Saqqaf, Kiyai Thohir Rohili, Habib Abdur Rahman al-Attas dan ramai lagi.

Habib Salim juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga dipenjarakan oleh Belanda. Di zaman penjajahan Jepun, beliau juga sering dipenjara kerana ucapan-ucapannya yang tegas, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia, beliau juga sering keluar masuk penjara kerana kritikannya yang tajam terhadap kerajaan apalagi dalam hal bersangkutan agama yang sentiasa ditegakkannya dengan lantang.

Sifat dan kepribadian luhurnya serta ilmunya yang luas menyebabkan ramai yang berguru kepada beliau, Presiden Soerkano sendiri pernah berguru dengan beliau dan sering dipanggil ke istana oleh Bung Karno. Waktu Perjanjian Renvil ditandatangani, beliau turut naik atas kapal Belanda tersebut bersama pemimpin Indonesia lain. Beliau wafat di Jakarta pada 10 Rabi`ul Awwal dan dimakamkan dengan Masjid al-Hawi, Jakarta……Al-Fatihah.

Ratapan 10 Muharram - Fatwa Habib Salim

Lantaran Revolusi Syiah Iran yang menumbangkan kerajaan Syiah Pahlavi, maka ada orang kita yang terpengaruh dengan ajaran Syiah. Bahkan ada juga keturunan Saadah Ba ‘Alawi yang terpengaruh kerana termakan dakyah Syiah yang kononnya mengasihi Ahlil Bait.

Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan telah menulis sebuah kitab membongkar kesesatan Syiah yang diberinya judul “Ar-Raa`atul Ghoomidhah fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah”. Berhubung dengan bid`ah ratapan pada hari ‘Asyura, Habib Salim menulis, antaranya:

• Dan di antara seburuk-buruk adat mereka daripada bid`ah adalah puak Rawaafidh (Syiah) meratap dan menangis setiap tahun pada 10 Muharram hari terbunuhnya al-Husain. Maka ini adalah satu maksiat dari dosa-dosa besar yang mewajibkan azab bagi pelakunya dan tidak sewajarnya bagi orang yang berakal untuk meratap seperti anjing melolong dan menggerak-gerakkan badannya.

• Junjungan Rasulullah s.a.w. telah menegah daripada perbuatan sedemikian (yakni meratap) dan Junjungan Rasulullah s.a.w. telah melaknat orang yang meratap. Dan di antara perkara awal yang diminta oleh Junjungan Rasulullah s.a.w. daripada wanita-wanita yang berbaiah adalah supaya mereka meninggalkan perbuatan meratap terhadap si mati, di mana Junjungan s.a.w. bersabda: “Dan janganlah kalian merobek pakaian, mencabut-cabut rambut dan menyeru-nyeru dengan kecelakaan dan kehancuran”.

• Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadis daripada Sayyidina Ibnu Mas`ud r.a. bahawa Junjungan s.a.w bersabda: “Bukanlah daripada kalangan kami orang yang memukul dada, mengoyak kain dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (yakni meratap seperti ratapan kaum jahiliyyah).” Maka semua ini adalah perbuatan haram dan pelakunya terkeluar daripada umat Muhammad s.a.w. sebagaimana dinyatakan dalam hadis tadi.

• Telah berkata asy-Syarif an-Nashir li Ahlis Sunnah wal Jama`ah ‘Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur al-Hadhrami dalam fatwanya: “Perbuatan menyeru `Ya Husain’ sebagaimana dilakukan di daerah India dan Jawa yang dilakukan pada hari ‘Asyura, sebelum atau selepasnya, adalah bid`ah madzmumah yang sangat-sangat haram dan pelaku-pelakunya dihukumkan fasik dan sesat yang menyerupai kaum Rawaafidh (Syiah) yang dilaknat oleh Allah. Bahwasanya Junjungan Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka dia daripada kalangan mereka dan akan dihimpun bersama mereka pada hari kiamat.”

Janganlah tertipu dengan dakyah Syiah. Pelajarilah betul-betul pegangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah dan berpegang teguh dengannya. Katakan tidak kepada selain Ahlus Sunnah wal Jama`ah, katakan tidak kepada Wahhabi, katakan tidak kepada Syiah.

Ulama dan Pejuang Kemerdekaan
Ulama habaib Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan. Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan – yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.

Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.

Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.
Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi.

Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid. Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.” Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, ”Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan.”

Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.

Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman – cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman.

Kembali Berdakwah

Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.

Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.

Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, ”Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai.” Lalu kata pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa -- menurut keyakinan Habib -- belum mati, masih hidup.”

“Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,” jawab Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.

Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh. Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan. “Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim kala itu.

Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.

Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata.

Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim – dua putra almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.

Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga. ”Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.”

Disarikan dari Manakib Habib Salim bin Jindan karya Habib Ahmad bin Novel bin Salim

Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi

Dia peduli pada nasib fakir miskin dan anak yatim. Itu sebabnya ia dijuluki sebagai ayah anak yatim dan fakir miskin.

Sebagian kaum muslimin di Jawa Timur, khususnya di Surabaya, tentu mengenal Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, yang mukim di Surabaya pada pertengahan abad ke-20 silam. Ia adalah seorang habib dan ulama besar.

Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi lebih dikenal sebagai ulama yang mencintai fakir miskin dan anak yatim. Itu sebabnya kaum muslimin menjulukinya sebagai “bapak kaum fakir miskin dan anak yatim.” Semasa hidupnya ia rajin berdakwah ke beberapa daerah. Dalam perjalanan dakwahnya, ia tak pernah menginap di hotel melainkan bermalam di rumah salah seorang habib.Hampir setiap hari banyak tamu yang bertandang ke rumahnya, sebagian dari mereka datang dari luar kota. Ia selalu menyambut mereka dengan senang hati dan ramah. Jika tamunya tidak mampu, ia selalu mempersilakannya menginap di rumahnya, bahkan memberinya ongkos pulang disertai beberapa hadiah untuk keluarganya.

Ia juga memelihara sejumlah anak yatim yang ia perlakukan seperti halnya anak sendiri. Itu sebabnya mereka menganggap Habib Muhammad sebagai ayah kandung mereka sendiri. Tidak hanya memberi mereka tempat tidur, pakaian dan makanan, setelah dewasa pun mereka dinikahkan.

Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi lahir di kota Khala’ Rasyid, Hadramaut, Yaman Selatan, pada 1265 H atau 1845 M. Sejak kecil ia diasuh oleh pamannya, Habib Shaleh bin Muhammad Al-Habsyi. Ayahandanya, Habib Idrus bin Muhammad Alhabsyi, berdakwah ke Indonesia dan wafat pada 1919 M di Jatiwangi, Majalengka. Sedangkan ibunya, Syaikhah Sulumah binti Salim bin Sa’ad bin Smeer.

Seperti hanya para ulama yang lain, di masa mudanya Habib Muhammad juga rajin menuntut ilmu agama hingga sangat memahami dan menguasainya. Beberapa ilmu agama yang ia kuasai, antara lain, tafsir, hadits dan fiqih. Menurut Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, seorang ulama terkemuka, “Sesungguhnya orang-orang Hadramaut pergi ke Indonesia untuk bekerja dan mencari harta, tetapi putra kami Muhammad bin Idrus Al-Habsyi bekerja untuk dakwah Islamiyyah dalam rangka mencapai ash-shidqiyyah al-kubra, maqam tertinggi di kalangan para waliyullah.”

Ketika menunaikan ibadah haji ke Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah, ia sekalian menuntut ilmu kepada beberapa ulama besar di Al-Haramain alias dua kota suci tersebut. Salah seorang di antara para ulama besar yang menjadi gurunya adalah Habib Husain bin Muhammad Al-Habsyi.

Banyak kalangan mengenal Habib Muhammad sebagai ulama yang berakhlak mulia, dan sangat dermawan. Ia begitu ramah dan penuh kasih sayang, sehingga siapa pun yang sempat duduk di sampingnya merasa dirinyalah yang paling dicintai. Ia selalu tersenyum, tutur katanya lemah lembut. Itu semua tiada lain karena ia berusaha meneladani akhlaq mulia Rasulullah SAW.
Tak heran jika masyarakat di sekitar rumahnya, bahkan juga hampir di seluruh Surabaya, sangat mencintai, hormat dan segan kepadanya. Ia juga dikenal sebagai juru damai. Setiap kali timbul perbedaan pendapat, konflik, pertikaian di antara dua orang atau dua fihak, ia selalu tampil mencari jalan keluar dan mendamaikannya. Sesulit dan sebesar apa pun ia selalu dapat menyelesaikannya.

Sebagai dermawan, ia juga dikenal gemar membangun tampat ibadah. Ia, misalnya, banyak membantu pembangunan beberapa masjid di Purwakarta (Jawa Tengah) dan Jombang (Jawa Timur). Dialah pula yang pertama kali merintis penyelenggaraan haul para waliyullah dan shalihin. Untuk pertama kalinya, ia menggelar haul Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad di Tegal, Jawa Tengah. Ia juga merintis kebiasaan berziarah ke makam para awliya dan shalihin.

Menjelang wafatnya, ia menyampaikan wasiat, ”Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu ingat kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT menganugerahkan keberkahan kepada kalian dalam menegakkan agama terhadap istri, anak dan para pembantu rumah tanggamu. Hati-hatilah, jangan menganggap remeh masalah ini, karena seseorang kadang-kadang mendapat musibah dan gangguan disebabkan oleh orang-orang di bawah tanggungannya, yaitu isteri, anak, dan pembantu. Sebab, dia adalah pemegang kendali rumah tangga.”
Beliau wafat di Surabaya pada malam Rabu, 12 Rabi’ul Akhir 1337 H/1917 M. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Ampel Gubah, Kompleks Masjid Ampel, Surabaya.

Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus, Wajahnya Jernih Dengan Pancaran Nur (Cahaya)

Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus ialah salah seorang ulama yang menjadi penerang umat di zamannya. Cahaya keilmuan dan akhlaknya menjadi teladan bagi mereka yang mengikuti jejak ulama salaf.

Beliau dilahirkan pada 1888M di Tarim, Hadramaut. Kewalian dan sir beliau tidak begitu tampak di kalangan orang awam. Namun di kalangan kaum arifin billah darjat dan karamah beliau sudah bukan hal yang asing lagi, kerana memang beliau sendiri lebih sering bermuamalah dan berinteraksi dengan mereka.

Didikan dan Perjalanannya

Sejak kecil, Habib Muhammad dididik dan diasuh secara langsung oleh ayah beliau sendiri, Habib Husein bin Zainal Abidin Al-Aidrus. Setelah usianya dianggap cukup matang oleh ayahnya, Habib Muhammad dengan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT merantau ke Singapura.
أَََلَمْ َتكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فتَََهَاجَرُوْا فِيْهَا

Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (An-Nisa': 97)
Setelah merantau ke Singapura, beliau berhijrah ke Palembang, Sumatera Selatan. Di kota ini beliau menikah dengan sepupunya, Aisyah binti Mustafa Al-Aidrus. Dari pernikahan itu beliau dikurniai Allah, tiga anak lelaki dan seorang anak perempuan. Dari Palembang, beliau melanjutkan perantauannya ke Pekalongan, Jawa Tengah. Di sini jugalah beliau seringkali mendampingi Habib Ahmad bin Talib Al-Attas.

Dari Pekalongan beliau berhijrah ke Surabaya tempat Habib Mustafa Al-Aidrus yang tidak lain adalah pamannya tinggal. Seorang penyair, al-Hariri pernah mengatakan:
وَحُبِّ البِلَادَ فَأَيُّهَا أَرْضَاكَ فَاخْتَرْهُ وَطَنْ

Cintailah negeri-negeri mana saja yang menyenangkan bagimu dan jadikanlah (negeri itu) tempat tinggalmu

Akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal bersama pamannya di Surabaya, yang waktu itu terkenal di kalangan masyarakat Hadramaut sebagai tempat berkumpulnya para auliaillah. Di antaranya adalah Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdar, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya dan masih banyak lagi para habaib yang mengharumkan nama kota Surabaya waktu itu.
Selama menetap di Surabaya, Habib Muhammad suka berziarah, antara lain ke makam para wali dan ulama di Kudus, Jawa Tengah, dan Tuban, Jawa Timur. Dalam ziarah itulah, beliau konon pernah bertemu secara rohaniah dengan seorang wali karismatik, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Gresik.

Dikatakan bahawa para sayyid dari keluarga Zainal Abidin (keluarga ayah Habib Muhammad) adalah para sayyid dari Bani Alawi yang terpilih dan terbaik kerana mereka mewarisi asrar (rahsia-rahsia). Mulai dari ayah dan datuk beliau, tampak jelas bahwa mereka mempunyai maqam di sisi Allah SWT. Mereka adalah pakar-pakar ilmu tasauf dan adab yang telah menyelami ilmu makrifatullah, sehingga patut bagi kita untuk menjadikan mereka sebagai contoh teladan.

Diriwayatkan dari sebuah kitab manaqib keluarga Habib Zainal Abidin mempunyai beberapa karangan yang kandungan isinya mampu memenuhi 10 gudang kitab-kitab ilmu ma'qul/manqul sekaligus ilmu-ilmu furu' (cabang) maupun usul (inti) yang ditulis berdasarkan dalil-dalil jelas yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh para pakar dan ahli (para aslafuna as-solihin).
Peribadinya Yang Luar Biasa
Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus ialah seorang yang pendiam, sedikit makan dan tidur. Setiap orang yang berziarah kepada beliau pasti merasa nyaman dan senang kerana memandang wajah beliau yang ceria dan jernih dengan pancaran nur (cahaya). Setiap waktu beliau gunakan untuk selalu berzikir dan berselawat kepada datuk beliau Rasulullah s.a.w.. Beliau juga gemar memenuhi undangan kaum fakir miskin. Setiap pembicaraan yang keluar dari mulut beliau selalu bernilai kebenaran-kebenaran sekalipun pahit akibatnya. Tidak seorangpun dari kaum muslimin yang beliau khianati, apalagi dianiaya.

Setiap hari jam 10 pagi hingga Zuhur beliau selalu menyempatkan untuk menjamu para tamu yang datang dari segala penjuru kota, bahkan ada sebahagian dari mancanegara. Sedangkan waktu antara Maghrib sampai Isyak, beliau pergunakan untuk menelaah kitab-kitab yang menceritakan perjalanan kaum salaf. Setiap malam Jumaat, beliau mengadakan pembacaan burdah bersama para jamaahnya.

Beliau memang sering diminta nasihat oleh warga di sekitar rumahnya, terutama dalam masalah kehidupan sehari-hari, masalah rumahtangga, dan masalah masyarakat lainnya. Itu semua beliau terima dengan senang hati dan tangan terbuka. Dan konon, beliau sudah tahu apa yang akan dikemukakan, sehingga si tetamu merasa hairan dan puas. Apalagi jika kemudian mendapat jalan keluarnya. “Itu pula yang saya ketahui secara langsung. Beliau adalah guru saya,” tutur Habib Mustafa bin Abdullah Al-Aidrus, menantunya, yang juga pimpinan Majlis Taklim Syamsi Syumus, Tebet Timur Dalam Raya, Jakarta Selatan.
Di antara mujahadah beliau, selama 7 tahun berpuasa dan dan hanya berbuka dan bersahur dengan tujuh biji kurma. Bahkan pernah selama setahun beliau berpuasa dan hanya berbuka dan bersahur dengan gandum yang sangat sedikit. Untuk berbuka puasa dan bersahur selama setahun itu beliau hanya menyediakan gandum sebanyak lima mud saja. Dan itulah pula yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali. Satu mud ialah 675 gram.

Habib Muhammad pernah berkata, "Di masa permulaan aku gemar menelaah kitab-kitab tasauf. Aku juga senantiasa menguji nafsuku ini dengan meniru perjuangan mereka (kaum salaf) yang tersurat dalam kitab-kitab salaf itu".

Digelar Habib Neon

Pada suatu malam, ketika ribuan jemaah tengah mengikuti taklim di sebuah masjid di Surabaya, tiba-tiba bekalan elektrik terpadam. Tentu saja mereka risau, heboh. Mereka satu persatu keluar, apalagi malam itu bulan tengah purnama. Ketika itulah dari kejauhan tampak seseorang berjalan menuju masjid. Dia mengenakan gamis dan serban putih, berselempang kain rida warna hijau. Dia ialah Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus.

Begitu masuk ke dalam masjid, aneh dan ajaib, mendadak masjid terang-benderang seolah ada lampu neon yang menyala. Padahal, Habib Muhammad tidak membawa obor atau lampu. Para jamaah kehairanan. Apa yang terjadi? Setelah diperhatikan, ternyata cahaya terang-benderang itu keluar dari tubuh sang habib. Maka, sejak itu beliau mendapat gelaran Habib Neon.

Pewaris Peribadi Imam Ali Zainal Abidin

Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus ialah pewaris peribadi Imam Ali Zainal Abidin yang haliyahnya agung dan sangat mulia. Beliau juga memiliki maqam tinggi yang jarang diwariskan kepada generasi-generasi penerusnya. Dalam hal ini Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad telah menyifati mereka dalam untaian syairnya:
ثبتوا على قـدم النبى والصحب \ والتـابعين لهم فسل وتتبع
ومضو على قصد السبيل الى العلى \ قدما على قدم بجد أوزع

Mereka tetap dalam jejak Nabi dan sahabat-sahabatnya
Juga para tabiin. Maka tanyakan kepadanya dan ikutilah jejaknya.

Mereka menelusuri jalan menuju kemuliaan dan ketinggian
Setapak demi setapak (mereka telusuri) dengan kegigihan dan kesungguhan.

Wafatnya
Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus wafat pada 30 Jamadilawal 1389 H/22 Jun 1969 M dalam usia 71 tahun dan jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Pegirikan, Surabaya, di samping makam paman dan mertuanya, Habib Mustafa Al-Aidrus, sesuai dengan wasiatnya.

Setelah beliau wafat, aktiviti dakwahnya dilanjutkan oleh puteranya yang ketiga, Habib Syeikh bin Muhammad Al-Aidrus dengan membuka majlis burdah di Ketapang Kecil, Surabaya. Haul Habib Muhammad diselenggarakan setiap hari Khamis pada akhir bulan Jamadilawal

Habib Ja’far As-Saqqaf Memuliakan para tetamunya


Habib Ja’far bin Syaikhan bin 'Ali bin Hasyim bin Syeikh bin Muhammad bin Hasyim As-Saqqaf dilahirkan di kota Ghurfah, Hadramaut pada tahun 1298 H. Bondanya ialah seorang wanita solehah, Ruqayyah binti Muhammad Manqusy. Sebagaimana kebanyakan para Salaf Bani Alawi, semenjak kecil beliau mendapat pendidikan langsung dari ayahandanya. Selain beliau menuntut ilmu kepada ayahnya, beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama besar zamannya, diantaranya: Habib 'Aidrus bin 'Umar al-Habsyi (pengarang ‘Iqdul Yawaaqit), Habib 'Ali bin Muhammad al-Habsyi (shohibul Simthud Durar), Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas, Habib Husain bin Muhammad al-Habsyi (Mufti Syafi`i Haramain) dan Habib Muhammad bin Salim as-Sary dan Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor. Dalam usia 40 tahun iaitu tahun 1338H, beliau berhijrah ke Indonesia. Mulanya beliau menetap di Surabaya sebelum berpindah ke kota santri Pasuruan. Habib Ja'far menghabiskan usianya untuk ibadah dan dakwah dengan bijaksana dan akhlak yang mulia. Beliau terkenal sebagai hafiz dan mufassir al-Quran yang hebat sehingga guru beliau, Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor memberikan gelar "al-Quran berjalan" bagi beliau, di mana sering tatkala bertemu dengan Habib Ja'far, gurunya tersebut akan berkata: "Ahlan bil Quran wa ahlan bi ahlil Quran". Bahkan gurunya tersebut sering menyerahkan tugas menjadi imam kepada beliau kerana dalam bacaannya amat elok menurut hukum tajwid serta penuh kekhusyukan. Kekhusyukan dan kehadiran hati beliau ini meliputi para makmum sehingga mereka turut merasa kenikmatan khusyuk dan hudhur. Habib 'Alwi bin 'Ali al-Habsyi pernah berkata: "Ketika mendengar bacaan Habib Ja'far, aku mengikuti pendapat yang mengatakan bahawa membaca al-Fatihah di belakang imam dalam shalat jahriyyah tidak wajib kerana hudhur yang kurasakan dari bacaannya." Sehingga dikatakan juga oleh yang lain bahawa: "Kalau Habib Ja'far membaca al-Quran, maka setiap huruf yang beliau ucapkan itu seakan-akan berbentuk."


Selain dakwah keliling, beliau membuka majlis ta'lim dan majlis rohah di Pasuruan dengan dihadiri oleh ramai santri yang terdiri dari kalangan para ulama. Antara ulama yang melazimi majlisnya ialah Kiyai Haji Abdul Hamid bin 'Abdullah bin 'Umar BaSyaiban dan Kiyai Mas Imam bin Thohir.

Habib Ja'far sangat teguh menjaga ajaran leluhurnya para salafush sholeh Bani 'Alawi yang mulia. Beliau beramal sesuai amal mereka dan berakhlak persis akhlak mereka. Beliau juga setekun para leluhurnya dalam melaksanakan amal-ibadah, selalu bertaqarrub kepada Allah dengan melakukan berbagai kesholehan. Antara wiridannya setiap hari ialah mengkhatamkan kitab suci al-Quran dan memperbanyakkan sholawat atas Junjungan s.a.w. Malamnya indah dihiasi qiyamul lail dan menyendiri di tempat khusus untuk bermunajat dan bertaqarrub.

Memuliakan Para Tetamunya

Beliau juga terkenal amat memuliakan para tetamunya, sehingga urusan melayani para tetamunya dijalankan sendiri oleh beliau. Beliau sendirilah yang menuangkan minuman buat si tamu dan beliau menolak jika ada orang lain yang hendak menggantikannya. Pernah satu ketika salah seorang tetamunya menyarankan agar beliau membiarkan orang lain untuk menuangkan minuman kepada para tetamunya dengan katanya: "Jangan engkau sendiri yang melakukannya." Beliau spontan menjawab: "Apakah di hari kiamat kelak, ketika Rasulullah s.a.w. memberi manusia minum dari telaga Kautsar dengan tangan baginda sendiri, kau akan berkata kepada beliau:"Jangan engkau sendiri yang melakukannya." .... Allahu ... Allah, mudah-mudahan kita dapat meneguk minuman telaga Kautsar dari tangan baginda yang mulia. Sungguh memuliakan tetamu itu sebahagian daripada keimanan, dan berhati-hatilah kita tatkala melayani para tetamu kita, jangan sampai kita menjadikan tetamu kita tersebut sebagai pelayan kita. Ingat sabdaan Junjungan Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam ad-Dailami:

"Bodohlah orang yang menjadikan tetamunya sebagai khadam (yakni tetamu pula yang jadi sibuk melayan tuan rumah dan bukan sebaliknya)".

Kehidupan berputar terus dan Habib Ja'far selalu mengisinya dengan kebaikan dan kebajikan. Sampai pada suatu saat dimana Allah hendak memanggilnya, maka berpulanglah beliau menuju mardhotillah pada hari Isnin, tanggal 14 Jumadil Akhir 1374 H dalam usia 76 tahun. Berita kewafatannya tersebar ke seluruh pelusuk dan penziarah tidak putus-putus berdatangan sehingga pemakaman beliau terpaksa diakhirkan sehingga ke petang Selasa. Jasad beliau lalu disemayamkan di tepi Masjid Jami` al-Anwar, Pasuruan, berdampingan dengan maqam Habib Hadi bin Shodiq Bin Syaikh Abu Bakar. Mudah-mudahan Allah meredhai beliau dan mengumpulkan beliau bersama para leluhurnya yang sholeh.

Dipetik dari:
http://bahrusshofa.blogspot.com/2007/06/habib-jafar-as-saqqaf.html

Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad ( Mbah Priok )


Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad lahir di di Ulu, Palembang, Sumatera selatan, pada tahun 1291 H / 1870 M. Semasa kecil beliau mengaji kepada kakek dan ayahnya di Palembang. Saat remaja, beliau mengembara selama babarapa tahun ke Hadramaut, Yaman, untuk belajar agama, sekaligus menelusuri jejak leluhurnya, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Shohib Ratib Haddad, yang hingga kini masih dibaca sebagian besar kaum muslimin Indonesia. Beliau menetap beberapa tahun lamanya, setelah itu kembali ke tempat kelahirannya, di Ulu, Palembang

Ketika petani Banten, dibantu para Ulama, memberontak kepada kompeni Belanda (tahun 1880), banyak ulama melarikan diri ke Palembang; dan disana mereka mendapat perlindungan dari Habib Hasan. Tentu saja pemerintah kolonial tidak senang. Dan sejak itu, beliau selalu diincar oleh mata-mata Belanda.

Pada tahun 1899, ketika usianya 29 tahun, beliau berkunjung ke Jawa, ditemani saudaranya, Habib Ali Al-Haddad, dan tiga orang pembantunya, untuk berziarah ke makam Habib Husein Al Aydrus di Luar Batang, Jakarta Utara, Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Sunan Ampel di Surabaya. Dalam perjalanan menggunakan perahu layar itu, beliau banyak menghadapi gangguan dan rintangan. Mata-mata kompeni Belanda selalu saja mengincarnya. Sebelum sampai di Batavia, perahunya di bombardier oleh Belanda. Tapi Alhamdulillah, seluruh rombongan hingga dapat melanjutkan perjalanan sampai di Batavia.

Dalam perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua bulan itu, mereka sempat singgah di beberapa tempat. Hingga pada sebuah perjalanan, perahu mereka dihantam badai. Perahu terguncang, semua perbekalan tumpah ke laut. Untunglah masih tersisa sebagian peralatan dapur, antara lain periuk, dan beberapa liter beras. Untuk menanak nasi, mereka menggunakan beberapa potong kayu kapal sebagai bahan bakar. Beberapa hari kemudian, mereka kembali dihantam badai. Kali ini lebih besar. Perahu pecah, bahkan tenggelam, hingga tiga orang pengikutnya meninggal dunia. Dengan susah payah kedua Habib itu menyelamatkan diri dengan mengapung menggunakan beberapa batang kayu sisa perahu. Karena tidak makan selama 10 hari, akhirnya Habib Hasan jatuh sakit, dan selang beberapa lama kemudian beliaupun wafat.
Sementara Habib Ali Al-Haddad masih lemah, duduk di perahu bersama jenazah Habib Hasan, perahu terdorong oleh ombak-ombak kecil dan ikan lumba-lumba, sehingga terdampar di pantai utara Batavia. Para nelayan yang menemukannya segera menolong dan memakamkan jenazah Habib Hasan. Kayu dayung yang sudah patah digunakan sebagai nisan dibagian kepala; sementara di bagian kaki ditancapkan nisan dari sebatang kayu sebesar kaki anak-anak. Sementara periuk nasinya ditaruh disisi makam. Sebagai pertanda, di atas makamnya ditanam bunga tanjung. Masyarakat disekitar daerah itu melihat kuburan yang ada periuknya itu di malam hari selalu bercahaya. Lama-kelamaan masyarakat menamakan daerah tersebut Tanjung periuk. Sesuai yang mereka lihat di makam Habib Hasan, yairtu bunga tanjung dan periuk.

Konon, periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut.
Banyak orang yang bercerita bahwa, tiga atau empat tahun sekali, periuk tersebut di laut dengan ukuran kurang lebih sebesar rumah. Diantara orang yang menyaksikan kejadian itu adalah anggota TNI Angkatan Laut, sersan mayor Ismail. Tatkala bertugas di tengah malam, ia melihat langsung periuk tersebut.
gubah al haddadKarena kejadian itulah, banyak orang menyebut daerah itu : Tanjung Periuk.
Sebenarnya tempat makam yang sekarang adalah makam pindahan dari makam asli. Awalnya ketika Belanda akan menggusur makam Habib Hasan, mereka tidak mampu, karena kuli-kuli yang diperintahkan untuk menggali menghilang secara misterius. Setiap malam mereka melihat orang berjubah putih yang sedang berdzikir dengan kemilau cahaya nan gemilang selalu duduk dekat nisan periuk itu. Akhirnya adik Habib Hasan, yaitu Habib Zein bin Muhammad Al-Haddad, dipanggil dari Palembang khusus untuk memimpin doa agar jasad Habib Hasan mudah dipindahkan. Berkat izin Allah swt, jenazah Habib Hasan yang masih utuh, kain kafannya juga utuh tanpa ada kerusakan sedikitpun, dipindahkan ke makam sekarang di kawasan Dobo, tidak jauh dari seksi satu sekarang.

Salah satu karomah Habib Hasan adalah suatu saat pernah orang mengancam Habib Hasan dengan singa, beliau lalu membalasnya dengan mengirim katak. Katak ini dengan cerdik lalu menaiki kepala singa dan mengencingi matanya. Singa kelabakan dan akhirnya lari terbirit-birit.

( Al – Kisah No. 07 / Tahun III / 28 Maret – 10 April 2005 & No. 08 / Tahun IV / 10-23 April 2006 )

Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad

Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad dilahirkan di kota Qeidun, Hadramaut, pada tahun 1299 H. Sanad keturunan beliau termasuk suatu silsilah dzahabiyyah, sambung-menyambung dari ayah yang wali ke datuk wali, demikian seterusnya sampai bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebagaimana kebanyakan para Saadah Bani Alawi, beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahnya sendiri Al-Habib Muhammad bin Thohir bin Umar Alhaddad.

Datuk beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad adalah seorang ulama besar di kota Geidun, Hadramaut. Sedangkan ayah beliau adalah seorang Wali min Auliyaillah dan ulama besar yang hijrah dari kota Geidun, Hadramaut ke Indonesia dan menetap di kota Tegal. Beliau Al-Habib Thohir banyak membaca buku dibawah pengawasan dan bimbingan ayah dan kakek beliau, sehingga diberi ijazah oleh ayah dan kakeknya sebagai ahli hadist dan ahli tafsir.Setelah digembleng oleh ayahnya, beliau lalu berguru kepada :

As-Syaikh Abdullah bin Abubakar Al-Murahim Al-Khotib (di kota Tarim)

As-Syaikh Abud Al-Amudi (di kota Geidun)

Setelah itu beliau memulai pengembaraannya di sekitar kota-kota di Hadramaut untuk menuntut ilmu dan menghiasi kemuliaan nasabnya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Beliau keliling dari satu kota ke kota yang lain untuk mengambil ilmu dari ulama-ulama besar yang beliau jumpai. Diantara para guru yang beliau berguru kepada mereka adalah :

Al-Habib Husain bin Muhammad Albar (di Gerain)

Al-Habib Umar bin Hadun Al-Atthas (di Masyhad)

Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas (di Huraidhah)

Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Atthas (di Maula Amed)

Al-Habib Umar Maula Amed (di Maula Amed)

Al-Habib Abdillah bin Umar bin Sumaith (di Syibam)

Al-Habib Abdullah bin Hasan bin Shaleh Al-Bahar (di Thi Usbuh)

Al-Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi (di Hauthoh Ahmad bin Zein)

Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi (di Ghurfah)

Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (Mufti Hadramaut)

Al-Habib Idrus bin Alwi Alaydrus

Al-Habib Abdulqodir bin Ahmad Alhaddad (di Tarim)

Itulah guru-guru beliau yang ada di Hadramaut, dimana mereka semua kebanyakan adalah ulama-ulama besar dan tidak jarang pula yang termasuk Wali min Auliyaillah.

Pada suatu saat, beliau ingin sekali menunaikan ibadah Haji dan lalu berziarah ke datuk beliau termulia Rasulullah SAW. Setelah mendapat ijin dari kakek beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad, berangkatlah beliau menuju ke kota Makkah dan Madinah. Setelah beliau menunaikan keinginannya, timbullah niat beliau untuk belajar dari para ulama besar yang ada di dua kota suci tersebut. Lalu beliau menuntut ilmu disana dengan berguru kepada :

As-Syaikh Said Babshail

As-Syaikh Umar bin Abubakar Junaid

Al-Habib Husin bin Muhammad Al-Habsyi (Mufti Syafi’iyah pada masa itu)

Setelah dirasa cukup menuntut ilmu disana, timbullah keinginan beliau untuk berhijrah ke Indonesia, sebagaimana yang dilakukan sebelumnya oleh ayah beliau Al-Habib Muhammad. Sesampailah beliau di Indonesia, beliau lalu berziarah ke makam ayah beliau Al-Habib Muhammad bin Thohir Alhaddad yang wafat di kota Tegal, Jawa Tengah, pada tahun 1316 H.

Keinginan beliau untuk selalu menuntut ilmu seakan tak pernah luntur dan pupus terbawa jaman. Inilah salah satu kebiasaan beliau untuk selalu mencari dan mencari ilmu dimanapun beliau berada. Tidaklah yang demikian itu, kecuali beliau mencontoh para Datuk beliau yang gemar menuntut ilmu, sehingga mereka bisa menjadi ulama-ulama besar. Diantara para guru beliau yang ada di Indonesia adalah :

Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (di Surabaya)

Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (di Surabaya, yang kemudian beliau dikawinkan dengan anaknya)

Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas (di Bogor)

Al-Habib Salim bin Alwi Al-Jufri (menetap di Menado)

Al-Habib Idrus bin Husin bin Ahmad Alaydrus (wafat di India dalam dakwahnya)

Di Indonesia, beliau memilih untuk menetap di kota Bogor. Disana beliau berdakwah dan menyebarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Beliau dikenal sebagai seorang ulama besar dan ahli hadits. Di kota Bogor beliau banyak mengadakan majlis-majlis taklim dan mengajarkan tentang Al-Islam. Sampai akhirnya beliau dipanggil oleh Allah menuju ke haribaan-Nya. Beliau wafat di kota Bogor tahun 1373 H dan dimakamkan di Empang, Bogor.

Seorang ulama besar telah berpulang, namun jejak-jejak langkah beliau masih terkenang. Nama baik beliau selalu tersimpan dalam hati para pecintanya…dalam hati yang paling dalam, menyinari kehidupan suram nan kelam…

Radhiyallahu anhu wa ardhah…

(Dipetik dari Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Muhammad Syamsu Assegaf dan dari berbagai sumber lainnya)

Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi

Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi ialah seorang ulama dan dai yang masyhur. Beliau merupakan anak bongsu kepada Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi pengarang maulid 'Simthud Durar' yang masyhur. Beliau juga pendiri Masjid ar-Riyadh di Kota Solo (Surakarta). Beliau dikenali sebagai peribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan - santun serta ramah tamah terhadap sesiapa pun terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tetamu daripada berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian. Beliau meninggal dunia pada 20 Rabiulawal 1373H dan dimakamkan di Kota Surakarta. Tempat beliau selepas itu digantikan anakandanya Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad Al-Habsyi.

Habib Ali Al-Habsyi, penggubah Maulid Simthud Durar Ditulis oleh orgawam di/pada April 12, 2008

Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi
(Berikut ini adalah riwayat hidup penyusun kitab maulid Simthud durar yang diambil dari situs alawiyin).


Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi dilahirkan pada hari Juma’at 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota di negeri Hadhramaut. Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya; As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang solihah yang amat bijaksana. Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu, beliau diizinkan oleh para guru dan pendidik nya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.

Selanjutnya, beliau melaksanakan tugas-tugas suci yang dipercayakan padanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia.
Untuk menampung mereka, dibangunnya Masjid “Riyadh” di kota Seiwun (Hadhramaut), pondok-pondok dan asrama-asrama yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi keperluan mereka, termasuk soal makan-minum, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang dan tenteram, bebas dari segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari.

Bimbingan dan asuhan beliau seperti ini telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicitakannya, kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan sahaja di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya – di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.
Di tempat-tempat itu, mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan penyiaran agama, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan-pertemuan keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang luas sekali.

Beliau meninggal dunia di kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H dan meninggalkan beberapa orang putera yang telah memperoleh pendidikan sebaik-baiknya dari beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau dalam berdakwah dan menyiarkan agama.
Di antara putera-putera beliau yang dikenal di Indonesia ialah puteranya yang bongsu; Al-Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, pendiri Masjid “Riyadh” di kota Solo (Surakarta). Dia dikenal sebagai peribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan-santun, serta ramah-tamah terhadap siapa pun terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian dan pertemuan-pertemuan keagamaan.

Beliau meninggal dunia di kota Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1373 H dan dimakamkan di kota Surakarta. Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat dengan para ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-kawan serta murid-murid beliau, yang semuanya itu merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah yang tiada habisnya.

Dan di antara karangan beliau yang sangat terkenal dan dibaca pada berbagai kesempatan di mana-mana, termasuk di kota-kota di Indonesia, ialah risalah kecil ini yang berisi kisah Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan diberinya judul “Simtud Duror Fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat dan Riwayat Hidupnya).

Simthud Durar (Untaian Mutiara)
Al-Habib al-Imam al-Allamah Ali bin Muhammad Husain al-Habsy

Ash-shalatul ula, Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad
Maa laaha fil ufqi nuuru kawkab

Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad, Al-fatihil khaatimil muqarrab
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Al-mush-thafaa al-mujtabaa al-muhabab,Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad, Maa laaha badrun wa ghaaba ghay-hab, Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad, Maa riihu nashrim bin nashri qad-hab

Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Maa saaratil ‘iisu bathna sabsab
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Wa kulli man lil habiibi yunsab
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad, Wa kulli man lin nabiyi yash-hab
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Waghfir wa saamih man kaana adznab

Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Wa ballighil kulla kulla mathlab
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Wasluk binaa rabbi khayra madz-hab
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Waslih wa sahhil maa qad tasha’ab
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,A’lal baraayaa jaahan wa arhab

Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad, Ashdaqi ‘abdin bil haqqi a’rab
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Khayril waraa man hajaan wa ashwab
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Maa thayru yumnin ghannaa fa athrab
Ash-shalatuts-tsaaniyah

Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Asyrafi badrin fiil kawni asyraq
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad
Akrami daa’in yad’uu ilal haqq

Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Al-mush-thafaash shaadiqil mushaddaq
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Ahlaal waraa man thiqan wa ashdaq
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Afdhali man bittuqaa tahaqqaq
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Man bissakhaa wal wafaa takhallaq

Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Wajma’minasy-syamli maa tafarraq
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Washlih wa sahhil maa qad ta’awwaq
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Waftah minal khayri kulla mughlaq
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Wa aalihii wa man binnabiyi ta’alaq

Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Wa aalihii wa man lil habiibi ya’syaq
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Wa man bi hablin nabiyi tawas-tsaq
Yaa Rabbi shalli ‘alaa Muhammad,Yaa Rabbi shalli ‘alayhi wa sallim

Mahallul Qiyam (berdiri)

Asyraqal kawnub tihaajan,Alam bersinar-sinar bersuka ria
Biwujudil musthafaa ahmad,Menyambut kelahiran al-Musthafa Ahmad
Wa li ahnil kawni un sun,Riang gembira meliputi penghuninya
Wa suruurun qad tajaddad,Sambung-menyambung tiada henti

Fathrabuu yaa ahlal matsyaanii,Berbahagialah wahai pengikut al-Quran
Fahazaarul yumni gharrad,Burung-burung kemujuran kini berkicau
Wastadhii’uu bi jamaalin,Bersuluhan dengan sinar keindahan
Faaqa fil husni tafarrad,Mengungguli semua yang indah tiada banding

Walanaal busyraa bisa’din,Kini wajiblah kita bersuka cita
Mustamirrin laysa yanfad,Dengan keberuntungan terus-menerus tiada habisnya

Haytsu uutiinaa ‘athaa an,Manakala kita memperoleh anugerah
Jama’al fakhral muu abbad,Padanya terpadu kebanggaan abadi
Fali rabbi kullu hamdin,Bagi Tuhanku segala puji
Jalla an yahshura hul ‘ad,Tiada bilangan mampu mencukupinya

Idz habaa naabi wujuudil al-mushthafaal haadii Muhammad
Atas penghormatan yang dilimpahkan-Nya bagi kita dengan lahirnya al-Musthafa al-Haadi Muhammad
Yaa rasuulal-laahi ahlan,Yaa Rasulullah, selamat datang
Bika inna bika nas’ad,Sungguh kami beruntung dengan kehadiranmu
Wabijaahih yaa ilaahii,Semoga Engkau berkenan memberi nikmat karunia-Mu,Judwa balligh kulla maqsh’ad,Mengantarkan kami ke tujuan idaman

Wahdinaa nahja sabiilih,Tunjukilah kami jalan yang ia tempuh
Kay bihii nus’ad wa nursyad,Agar dengannya kami bahagia dan memperoleh kebaikan yang melimpah

Rabbi ballighnaa bijaahih,Tuhanku, demi mulia kedudukannya di sisi-Mu
Fii jiwaarihi khayra maq’ad,Tempatkanlah kami sebaik-baiknya di sisinya. Washalaatul-laahi taghsyaa,Semoga shalawat Allah meliputi selalu,Asyrafar rusli Muhammad,Rasul paling mulia, Muhammad

Wasalaamun mustamirrun,Dan salam terus-menerus
Kulla hiinin yatajaddad,Silih berganti setiap saat
Shalawaatusy-syariifah,A’uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim, Bismillaahir rahmaanir rahiim, Innallaaha wa malaa-ikatahuu yushalluuna ‘alan Nabiiyyi/yaa ayyuhal ladziina ‘aamanu shalluu ‘alayhi wa sallimu tasliimaa, Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi shalli ‘alayhi wa sallim

Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi balligh-hul wasiilah
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi khush-shahuu bil fadhiilah, Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi wardha ‘anish shahaabah,Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi wardha ‘anish sulalaah.

Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi wardha ‘anil masyaayikh
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi wardha ‘anil a-immah
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi farham waalidiinaa Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi warhamnaa jami’aa

Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi waghfir likulli mudznib
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi warzugnasy-syahaadah
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi hithnaa bis-sa’aadah Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi washlih kulla muslih
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi wakfi kulla mu’dzii
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi ballighnaa nazuuruh

Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi taghsyaa naa-binuurih
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi yaa saami’u du’aanaa
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi laa taqtha’ rajaanaa
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi hif-zhaanaka wa amaanak
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi ajinaa min ‘adzaabik
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi adziqnaa barda ‘afwik

Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi nas-a-lukas salaamah
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi min hawlil qiyaamah
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi nakhtim bil-musyaffa’
Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad, Yaa Rabbi ‘alayhi wa sallim

Yaa amaanal khaa-i-fiin,Sallimnaa mimmaa nakhaaf
Yaa munajjiyal mu’miniin, Najjinaa mimmaa nakhaf,Wa nahdzar

(dari Majelis Taklim Nuur Haddad Habib Abubakar bin
Ali Assegaff, Manado)

Habib Ahmad Muhsin Assegaf

Salah satu pakar nasab di Indonesia yang meletakkan dasar-dasar ilmu nasab adalah Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf. Selain dikenal sebagai pakar ilmu nasab yang jempolan, ia juga dikenal wartawan, sastrawan dan guru bagi banyak orang.

Habib Ahmad dikenal sebagai wartawan, sejarawan, dan sastrawan keturunan Arab yang terkenal pada masa kemerdekaaan RI. Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf, banyak menyerang pemerintah kolonial Belanda lewat tulisan-tulisannya. Untuk melengkapi data tulisannya itu, dia mendatangi berbagai tempat di Indonesia untuk bertemu dengan tokoh masyarakat, ulama, dan sejarawan.
Ia juga adalah salah satu pendiri pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah dan sekaligus menerbitkan majalah Arrabithah Al-Alawiyyah, majalah yang mengupas bidang keagamaan dan politik. Majalah Arrabithah Al-Alawiyyah dalam waktu yang tidak lama menjadi wadah bagi para penulis muda untuk menyampaikan pendapat mengenai keislaman dan politik, berperan sebagai sarana untuk menampik pengaruh orientalis barat di Indonesia.

Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff sendiri lahir pada tahun 1299 H (1879 M) di kota Syihr, Hadramaut. Ketika umurnya menginjak usia 4 tahun, ia dibawa oleh kedua orang tuanya ke kota Seiwun, saat itu terkenal sebagai kota ilmu yang menghasilkan banyak ulama besar dan shalihin. Di kota itu, ia mempelajari ilmu ushuludin, fiqh, tata bahasa, sastra dan tasawuf.Tak puas menyerap ilmu di Seiwun, lantas ia pergi ke Tarim yang saat itu juga dikenal sebagai pusat para ulama besar. Hampair setiap hari, ia mendatangi majlis-majlis ilmu dan mengadakan hubungan yang akrab dengan guru-guru yang shalih, seperti Sayid Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur, Syaikh Saleh, Syaikh Salim Bawazier, Syaikh Said bin Saad bin Nabhan, Sayyid Ubaidillah bin Muhsin Assegaff, Habib Ahmad bin Hasan Alattas, Habib Muhammad bin Salim As-Siri dan lain-lain.

Ustadz Ahmad Assegaff dikenal sangat gemar mengadakan perjalanan ke berbagai negeri tetangga untuk menemui ulama-ulama dan mengadakan dialog dengan para cendekiawan, sehingga ia sangat dikagumi oleh pusat-pusat ilmiah pada masa itu.

Tahun 1333 H (1913 M), ia berlayar ke Singapura dan ke Indonesia untuk mengunjungi saudaranya yang tertua, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff di Pulau Bali. Ia tinggal di Pulau Dewata itu beberapa lama, sambil berguru sekaligus berdakwah di sana.
Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Surabaya, berjumpa dengan beberapa perintis pergerakan Islam serta para cendekiawan. Mereka sering terlibat diskusi membahas kebangkitan pergerakan keturunan Arab dan kaum muslimin di masa mendatang.

Habib Ahmad saat itu terpilih menjadi direktur yang pertama dari Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Ia memimpin sekolah yang kebanyakan diikuti oleh warga keturunan arab itu dengan sangat bijaksana dan mulai saat itu namanya dikenal sebagai orang yang ahli dalam bidang pendidikan. Di kota Surabaya, ia menikah dan mempunyai beberapa orang putra.

Kemudian, ia pindah ke Solo dan tetap bersemangat mencari ilmu pengetahuan. Di kota batik inilah ia mempelajari ilmu psikologi dan manajemen sekolah, kebetulan ia juga menjadi salah pengurus sekolah swasta. Selain mengajar, ia juga berdagang sehingga ia sering pergi ke Jakarta untuk mengurus perniagaannya. Usaha dagang semakin maju. Itu membuat Habib Ahmad pindah ke Jakarta dan menjadi pimpinan sekolah Jami’at Kheir.

Berbagai perubahan demi kemajuan dalam pendidikan mulai ia rintis, di antaranya dengan membuka kelas-kelas baru bagi para pelajar, menyusun tata tertib bagi pelajar, mengarang buku-buku sekolah serta lagu-lagu untuk sekolah.


Buku-buku pelajaran yang ia susun diantaranya terdiri dari buku-buku agama, sastra dan akhlaq. Keberhasilannya dalam memimpin sekolah dan menciptakan sistem pendidikan, mengundang perhatian yang luas dari pemerhati masalah pendidikan baik dalam maupun luar negeri, seperti dari Malaysia dan Kesultanan Gaiti di Mukalla. Intinya, mereka meminta Habib Ahmad untuk memimpin pengajaran sekolah di negeri mereka. Namun, permintaan tersebut ditolak dengan halus, karena ia tengah merintis pembentukan Yayasan Arrabithah Al-Alawiyyah.

Melalui pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah pula, ia mempunyai pengaruh yang sangat kuat di dalam memberikan petunjuk dan pentingnya persatuan di kalangan umat Islam dalam menghadapi penjajahan. Semua itu dapat dilihat dalam qasidah, syair serta nyanyian yang ia karang.

Salah satu kitab yang dikarang oleh Habib Ahmad adalah Kitab Khidmatul Asyirah. Kitab itu dibuat sebagai ringkasan dari kitab Syams Azh-Zhahirah. Dalam kitab ini Habib Ahmad menguraikan secara sistematis mengenai nasab dan pentingnya setiap orang memelihara kesucian nasabnya dengan ahlak yang mulia. Karena tidaklah mudah untuk menjaga nasab, sebagai ikatan penyambung keturunan serta asal-usul kembalinya keturunan seseorang kepada leluhurnya.

Dalam kitab ini, riwayat seseorang ia diteliti dengan seksama supaya terjaga kesucian nasabnya, dengan susunan yang tertib dari awal sampai akhir. Habib Ahmad bekerja keras untuk menyempurnakan isi buku ini walaupun ia mempunyai kesibukan yang luar biasa baik Rabithah Alawiyah maupun sebagai pengajar di Jami’at Kheir. Segala rintangan dihadapinya dengan penuh ketegaran dan semangat pantang mundur dengan satu tekad menyusun sejarah nasab Alawiyin merupakan pekerjaan yang sangat mulia.

Habib Ahmad, dalam kitab Khidmatul Asyirah menambahkan catatan beberapa orang yang terkemuka serta para ulama yang hidup sekitar tahun 1307-1365 H, saat menulis kitab ini sekitar tahun 1363 Habib Ahmad menghitung terdapat lebih dari 300 qabilah dan kitab ini pertama kali diterbitkan di Solo pada Rabiul Awal 1365 H.

Dari sekitar 20 buah bukunya, Ahmad bin Abdullah Assagaf sempat menulis sejarah Banten berjudul Al-Islam fi Banten (Islam di Banten). Karangannya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Fatat Garut (Gadis Garut) berupa roman kehidupan multietnik Indonesia di awal abad ke-20 oleh penerbit Lentera pada tahun 1997 dan diterjemahkan oleh Drs. Ali bin Yahya. Karya sastra ini sangat indah dan patut untuk dibaca karena banyak mengandung budaya bangsa dan syair-syair.

Karya-karyanya yang lain banyak disebarluaskan di madrasah-madrasah sebagai buku wajib pelajaran sekolah baik dalam mau pun di luar negeri. Diantaranya adalah cerita-cerita yang berisi masalah pendidikan seperti Dhahaya at-Tasahul, dan Ash-Shabr wa ats-Tsabat (berisi tentang cara hidup yang baik di dalam masyarakat untuk mencapai kemulian dunia dan akhirat), buku-buku pendidikan dan ilmu jiwa, Sejarah masuknya Islam di Indonesia dan lain-lain.
Keahlian Habib Ahmad didalam syair mendapat pengakuan dari banyak ahli syair di negara Arab. Selain itu Habib Ahmad juga punya keahlian di bidang kerajinan tangan dan elektronika dan pernah membuat sebuah alat musik yang dinamakan Alarangan.

Saat tentara Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan menyerbu Hindia Belanda serta menyebabkan pertempuran yang sengit di Batavia menyebabkan Habib Ahmad pindah ke Solo. Setelah pertempuran mereda, Habib Ahmad kembali ke Jakarta dan mengajar di Kalibata.
Setelah 40 tahun menetap di Indonesia, pada 1950 ia berniat meninggalkan Indonesia menuju ke Hadramaut.

Tepat pada hari Jumat, 22 Jumadil Awwal 1369 H ia berangkat dari Jakarta, dengan mempergunakan kapal laut dari pelabuhan Batavia. Namun Allah SWT telah menentukan umurnya, tepatnya Selasa 26 Jumadil Awal 1369 H ia berpulang ke haribaan-Nya.

Setelah diadakan upacara keagamaan seperlunya di atas kapal, pada hari Kamis, 28 Jumadil Awal 1369 H, jenazahnya kemudian dimakamkan di laut lepas, sebelum memasuki pelabuhan Medan. Yang sangat disayangkan, banyak karya Habib Ahmad yang belum sempat dibukukan juga ikut hilang dalam perjalanan itu.

Beberapa bulan kemudian, doa itu dikabulkan oleh Allah SWT. Pada 12 Rabiulawal 1355 H/1935 M, lahirlah seorang putera buah pernikahan Habib Abdul Qadi

Beliau dikenal sebagai salah seorang ulama besar di Palembang. Banyak ulama dari berbagai penjuru Nusantara mengaji kepada beliau.

Ada pendapat, Palembang bisa di ibaratkan sebagai Hadramaut (markas para Habib dan Ulama besar). Sebab di Palembang memang banyak Habib dan Ulama besar, demikian pula makam-makam mereka. Salah seorang diantaranya adalah Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaaf, yang juga dikenal sebagai wali masthur. yaitu wali yang karamah-karamahnya tersembunyi. Padahal karamahnya cukup banyak.

Salah satu karamahnya ialah ketika beliau menziarahi orang tua beliau (Habib Hamid Al-Kaff dan Hababah Fathimah AL-Jufri) di kampung yusrain, 10 Ilir Palembang. Dalam perjalanan kebetulan turun hujan lebat dan deras. Untuk bebrapa saat beliau mengibaskan tangan beliau ke langit sambil berdoa. Ajaib, hujanpun reda.Nama beliau adalah Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff. Sampai di akhir hayat beliau tinggal di jalan K.H. Hasyim Asy’ari No. 1 Rt 01/I, 14 Ulu Palembang. Beliau lahir di Pekalongan Jawa Tengah dan dibesarkan di Palembang. Sejak kecil beliau diasuh oleh Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas.

Uniknya, hampir setiap pagi buta, Habib Ahmad Al-Attas menjemput muridnya ke rumahnya untuk shalat subuh berjama’ah karena sangat menyaynginya. Saking akrabnya, ketika bermain-main di waktu kecil, Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff sering berlindung di bawah jubah Habib Ahmad Alatas. Ketika usia 7 tahun saat anak-anak lain duduk di kelas satu madrasah Ibtidaiyyah, Habib Ahmad belajar ke Tarim Hadramaut Yaman bersama sepupunya Habib Abdullah-yang akrab dipanggil Endung.

Di sana mereka berguru kepada Habib Ali Al-Habsyi. Ada sekitar 10 tahun beliau mengaji kepada sejumlah ulama besar di Tarim. Salah seorang guru beliau adalah Habib Ali Al-Habsyi, ulama besar penulis Maulid Simtuth Durar. Selama mengaji kepada Habib Ali Al-Habsyi , beliau mendapat pendidikan disiplin yang sangat keras. Misalnya sering hanya mendapatkan sarapan 3 butir kurma. Selain kepada Habib Ali , beliau juga belajar tasawuf kepada Habib Alwi bin Abdullah Shahab . sedangkan sepupu beliau Habib Endung belajar fiqih dan ilmu-ilmu alat seperti nahwu, sharaf dan balaghah. Sepulang dari Hadramaut pada usia 17 tahun . Habib Ahmad Al-Kaff menikah dengan Syarifah Aminah Binti Salim Al-Kaff . meski usianya belum genap 20 tahun namun beliau sudah mulai dikenal sebagai ulama yag menjalani kehidupan zuhud dan mubaligh yang membuka majlis ta’lim. Dua diantara murid beliau yakni Habib alwi bin Ahmad Bahsin dan Habib Syaikhan Al-gathmir belakangan dikenal pula sebagai ulama dan mubaligh.

Selain di Palembang, Habib Ahmad juga berdakwah dan mengajar di beberapa daerah di tanah air, misalnya madrasah Al-Khairiyah Surabaya. Salah seorang murid beliau yang kemudian dikenal sebagai ulama adalah habib Salim bin ahmad bin Jindan ulama terkemuka di Jakarta, yang wafat pada tahun 1969.

Empat Pertanyaan

Ketinggian ilmu dan kewalian Habib Ahmad al-Kaff diakui oleh Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad, ulama besar dan wali yang bermukim di Bogor. Diceritakan pada suatu hari seorang habib dari Palembang (Habib Ahmad bin Zen bin Syihab) dan rakan-rakannya menjenguk Habib Alwi, mengharap berkah dan hikmahnya.

Mengetahui bahwa tamu-tamunya dari Palembang, dengan spontan Habib Alwi berkata, “Bukankah kalian mengenal Habib Ahmad bin Hamid al-Kaff ?. Buat apa kalian jauh-jauh datang ke sini, sedangkan di kota kalian ada wali yang maqam kewaliannya tidak berbeda denganku ? Saya pernah bertemu dia di dalam mimpi”. Tentu saja rombongan dari Palembang tersebut kaget. Maka Habib Alwi menceritakan perihal mimpinya. Suatu hari Habib Alwi berpikir keras bagaimana cara hijrah dari bogor untuk menghindari teror dari aparat penjajah belanda. Beliau kemudian bertawasul kepada Rasulullah SAW, dan malam harinya beliau bermimpi bertemu Rasulullah SAW memohon jalan keluar untuk masalah yang dihadapinya. Yang menarik, di sebelah Rasul duduk seorang laki-laki yang wajahnya bercahaya.

Maka Rasulullah SAW pun bersabda, “Sesungguhnya semua jalan keluar dari masalahmu ada di tangan cucuku di sebelahku ini”. Dialah Habib Habib Ahmad bin Hamid al-Kaff. Maka Habib Alwi pun menceritakan persoalan yang dihadapinya kepada Habib Ahmad al-Kaff- yang segera mengemukakan pemecahan/jalan keluarnya. Sejak itulah Habib Alwi membanggakan Habib Ahmad al-Kaff.

Sebagaimana para waliyullah yang lain, Habib Ahmad al-Kaff juga selalu mengamalkan ibada khusus. Setiap hari misalnya, Mursyid Tariqah Alawiyah tersebut membaca shalawat lebih dari 100.000 kali. Selain itu beliau juga menulis sebuah kitab tentang tatacara menziarahi guru beliau Habib Ahmad Alatas. Beliau juga mewariskakn pesan spiritual yang disebut Pesan Pertanyaan yang empat, yaitu empat pertanyaan mengenai ke mana tujuan manusia setelah meninggal.

Lahirnya empat pertanyaan tersebut bermula ketika Habib Ahmad al-Kaff diajak oleh salah seorang anggota keluarga untuk menikmati gambus. Seketika itu beliau berkata, “Aku belum hendak bersenang-senang sebelum aku tahu apakah aku akan mengucapkan kalimat tauhid di akhir hayatku. Apakah aku akan selamat dari siksa kubur, apakah timbangan amalku akan lebih berat dari dosaku, apakah aku akan selamat dari jembatan shiratal mustaqim”. Itulah yang dimaksud dengan “empat pertanyaan” yang dipesankannya kepada para murid, keluarga dan keturunannya.

Habib Ahmad al-Kaff wafat di Palembang pada 25 Jumadil akhir 1275H/1955M. Jenasah beliau dimakamkan di komplek pemakaman Telaga 60, 14 Hulu Palembang. Beliau meninggalkan lima anak: Habib Hamid, Habib Abdullah, Habib Burhan, Habib Ali dan Syarifah Khadijah.

Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih, Ulama Karismatik dan Ahli Hadis

Masyarakat Malang dan sekitarnya mengenal dua tokoh ulama yang sama-sama karismatik, sama-sama ahli hadis, sama-sama pendidik yang bijaksana. Mereka adalah bapa dan anak: Habib Abdul Qadir Bilfagih dan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih. Begitu besar keinginan sang ayah untuk 'mencetak' anaknya menjadi ulama besar dan ahli hadis, mewarisi ilmunya.

Ketika menunaikan ibadah haji, Habib Abdul Qadir Bilfagih berziarah ke makam Rasulullah saw di kompleks Masjid Nabawi, Madinah. Di sana ia memanjatkan doa kepada Allah SWT agar dikurniai putera yang kelak tumbuh sebagai ulama besar, dan menjadi seorang ahli hadits. Beberapa bulan kemudian, doa itu dikabulkan oleh Allah SWT. Pada 12 Rabiulawal 1355 H/1935 M, lahirlah seorang putera buah pernikahan Habib Abdul Qadir dengan Syarifah Ummi Hani binti Abdillah bin Agil, yang kemudian diberi nama Abdullah.

Sesuai dengan doa yang dipanjatkan di makam Rasulullah SAW, Habib Abdul Qadir pun mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mendidik putra tunggalnya itu. Pendidikan langsung ayahanda ini tidak sia-sia. Ketika masih berusia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah hafal Al-Quran.

Hal itu tentu saja tidak terjadi secara kebetulan. Semua itu berkat kerja sama yang seimbang antara ayah yang bertindak sebagai guru dan anak sebagai murid. Sang guru mengerahkan segala daya upaya untuk membimbing dan mendidik sang putra, sementara sang anak mengimbanginya dengan semangat belajar yang tinggi, ulet, tekun, dan rajin.

Menjelang dewasa, Habib Abdullah menempuh pendidikan di Lembaga Pendidikan At-Taroqi, dari madrasah ibtidaiyah hingga tsanawiyah di Malang, kemudian melanjutkan ke madrasah aliyah di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah li Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah. Semua lembaga pendidikan itu berada di bawah asuhan ayahandanya sendiri.

Sebagai murid, semangat belajarnya sangat tinggi. Dengan tekun ia menelaah berbagai kitab sambil duduk. Gara-gara terlalu kuat belajar, ia pernah jatuh sakit. Meski begitu ia tetap saja belajar. Barangkali karena ingin agar putranya mewarisi ilmu yang dimilikinya, Habib Abdul Qadir pun berusaha keras mendidik Habib Abdullah sebagai ahli hadits.

Maka wajarlah jika dalam usia relatif muda, Habib Abdullah telah hafal dua kitab hadits shahih, yakni Shahihul Bukhari dan Shahihul Muslim, lengkap dengan isnad dan silsilahnya. Tak ketinggalan kitab-kitab Ummahatus Sitt (kitab induk hadits), seperti Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzy, Musnad Syafi’i, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; Muwatha’ karya Imam Malik; An-Nawadirul Ushul karya Imam Hakim At-Turmudzy; Al-Ma’ajim ats-Tsalats karya Abul Qasim At-Thabrany, dan lain-lain.

Tidak hanya menghafal hadits, Habib Abdullah juga memperdalam ilmu musthalah hadist, yaitu ilmu yang mempelajari hal ikhwal hadits berikut perawinya, seperti Rijalul Hadits, yaitu ilmu tentang para perawi hadits. Ia juga menguasai Ilmu Jahr Ta’dil (kriteria hadits yang diterima) dengan mempelajari kitab-kitab Taqribut Tahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqallany, Mizanut Ta’dil karya Al-Hafidz adz-Dzahaby.

Empat Mazhab

Selain dikenal sebagai ahli hadits, Habib Abdullah juga memperdalam tasawuf dan fiqih, juga langsung dari ayahandanya. Dalam ilmu fiqih ia mempelajari kitab fiqih empat madzhab (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), termasuk kitab-kitab fiqih lain, seperti Fatawa Ibnu Hajar, Fatawa Ramli, dan Al-Muhadzdzab Imam Nawawi.

Setelah ayahandanya wafat pada 19 November 1962 (21 Jumadil Akhir 1382 H), otomatis Habib Abdullah menggantikannya, baik sebagai pengasuh pondok peantren, muballigh, maupun pengajar. Selain menjabat direktur Lembaga Pesantren Darul Hadits Malang, ia juga memegang beberapa jabatan penting, baik di pemerintahan maupun lembaga keagamaan, seperti penasihat menteri koordinator kesejahteraan rakyat, mufti Lajnah Ifta Syari’i, dan pengajar kuliah tafsir dan hadits di IAIN dan IKIP Malang. Ia juga sempat menggondol titel doktor dan profesor.

Sebagaimana ayahandanya, Habib Abdullah juga dikenal sebagai pendidik ulung. Mereka bak pinang dibelah dua, sama-sama sebagai pendidik, sama-sama menjadi suri tedalan bagi para santri, dan sama-sama tokoh kharismatik yang bijak. Seperti ayahandanya, Habib Abdullah juga penuh perhatian dan kasih sayang, dan sangat dekat dengan para santri.

Sebagai guru, ia sangat memperhatikan pendidikan santri-santrinya. Hampir setiap malam, sebelum menunaikan solat Tahajjud, ia selalu mengontrol para santri yang sedang tidur. Jika menemukan selimut santrinya tersingkap, ia selalu membetulkannya tanpa sepengetahuan si santri. Jika ada santri yang sakit, ia segera memberikan obat. Dan jika sakitnya serius, ia akan menyuruh seseorang untuk mengantarkannya ke dokter.

Seperti halnya ulama besar atau wali, pribadi Habib Abdullah mulia dan kharismatik, disiplin dalam menyikapi masalah hukum dan agama. Tanpa tawar-menawar, sikapnya selalu tegas: yang haq tetap dikatakannya haq, yang bathil tetap dikatakannya bathil.

Sikap konsisten untuk mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar itu tidak saja ditunjukkan kepada umat, tapi juga kepada pemerintah. Pada setiap kesempatan hari besar Islam atau hari besar nasional, Habib Abdullah selalu melancarkan saran dan kritik membangun – baik melalui pidato maupun tulisan.

Habib Abdullah juga dikenal sebagai penulis artikel yang produktif. Media cetak yang sering memuat tulisannya, antara lain, harian Merdeka, Surabaya Pos, Pelita, Bhirawa, Karya Dharma, Berita Buana, Berita Yudha. Ia juga menulis di beberapa media luar negeri, seperti Al-Liwa’ul Islamy (Mesir), Al-Manhaj (Arab Saudi), At-Tadhammun (Mesir), Rabithathul Alam al-Islamy (Makkah), Al-Arabi (Makkah), Al-Madinatul Munawarah (Madinah).
Habib Abdullah wafat pada hari Sabtu 24 Jamadilawal 1411 H (30 November 1991) dalam usia 56 tahun. Ribuan orang melepas kepergiannya memenuhi panggilan Allah SWT. Setelah disolatkan di Masjid Jami’ Malang, jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan makam ayahandanya di pemakaman Kasin, Malang, Jawa Timur.

Habib Abdul Qadir bin Ahmad As-Saqqaf


Habib Abdul Qadir bin Ahmad As-Saqqaf dilahirkan di Kota Seiwun, Hadramaut pada tahun 1331/1911. Ayahanda beliau Habib Ahmad bin Abdur Rahman As-Saqqaf adalah seorang ulama terkemuka di Hadhramaut yang menjadi pengganti kepada Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, penyusun Simthud Durar. Selain belajar daripada ayahandanya sendiri, beliau juga belajar dengan Syeikh Taha bin Abdullah Bahmid. Beliau juga belajar di Madrasah an-Nahdhatul Ilmiyyah dan telah menghafal al-Quran serta menguasai qiraah as-sab'ah daripada gurunya Syeikh Hasan bin Abdullah Baraja'.
Lihat bagaimana pemuka habaib menuntut ilmu bukan sahaja daripada kalangan mereka sahaja, tetapi kepada ulama lain yang alim walaupun tidak senasab dengan mereka. Pelik dengan sikap segelintir yang hanya mahu belajar daripada ulama yang sama senasab dengan mereka, jalan siapa yang kamu turuti sebenarnya. Sungguh para salaf kamu terdahulu menuntut ilmu daripada ulama tanpa melihat asal keturunan mereka hatta Imam al-Haddad mempunyai guru daripada


kalangan masyaikh.Antara guru-guru beliau lagi ialah Habib Umar bin Hamid As-Saqqaf, Habib Abdullah bin Alwi Al-Habsyi, Habib Umar bin Abdul Qadir As-Saqqaf, Habib Abdullah bin Aidrus Al-Aidrus dan ramai lagi. Habib Abdul Qadir adalah seorang ulama dan dai yang menjalankan dakwahnya dengan penuh kebijaksanaan. Akhlaknya yang tinggi mampu menawan hati sesiapa sahaja, ilmu, warak dan akhlaknya menyebabkan beliau dikasihi dan dihormati. Khabarnya Buya Hamka pernah ziarah kepada beliau sewaktu di Jeddah, dan setelah berbincang dengan beliau, akhirnya Buya Hamka mengakui bahawa Baitun Nubuwwah Bani Zahra min Ali masih wujud dan berkesinambungan dalam darah para saadah Bani Alawi.
Dakwah Habib Abdul Qadir tidak terhad kepada bumi kelahirannya sahaja, tetapi beliau juga memperluaskan medan dakwahnya sehingga ke Singapura dan Indonesia. Akhirnya atas permintaan beberapa ulama Hijaz, beliau menetap di Hijaz dengan bermukim di Makkah, Madinah dan Jeddah untuk mengasuh majlis-majlis taklim. Dalam usia yang sudah hendak mencapai seabad, beliau menghabiskan masanya di Jeddah dan masih menerima ziarahnya para penziarah. Mudah-mudahan Allah memberkahi usia dan segala usaha beliau dan membalasinya dengan sebaik-baik balasan.


Sumber:
http://bahrusshofa.blogspot.com/2007/01/habib-abdul-qadir.html

*Dikhabarkan kini beliau semakin uzur. Kita doakan semoga Allah sentiasa merahmatinya, mengasihaninya dan menjaganya. Amin.



Gambar Terkini