Selasa, 20 Juli 2010

Dosa Terakhir (part- 1)

اِذَا وَقَعَ مِنْكَ ذَنْبٌ فَلَايَكُنْ سَبَبًا لِيَأْسِكَ مِنْ حُصُوْلِ الإِسْتِقَامَةِ مَعَ رَبِّكَ , فَقَدْ يَكُوْنُ ذَلِكَ آخِرُ ذَنْبٍ قُدِّرَ عَلَيْكَ

Apabila dosa datang darimu, janganlah dosa itu menjadi penyebab putus asamu dari berhasil istiqomah bersama-sama Tuhanmu. Boleh jadi dosa tersebut adalah dosa terakhir yang ditakdirkan kepadamu.(Hikam, Ibnu Atho’illah ra)

Meskipun dosa seringkali mengakibatkan hati seorang hamba terhijab kepada tuhannya. Namun juga, dosa terkadang mampu membakar hijab yang menutupi hati. Itu bisa terjadi, apabila dengan dosa tersebut menjadikan seorang hamba ingat kepada tuhannya kemudian segera melaksanakan taubat dengan taubatan nashuha. Dosa seperti itu mampu menghancurkan sifat sombong dalam hati orang beriman. Sifat tercela hasil bentukan setan jin sebagai dampak negatif dari ilmu dan amal yang dapat menjadi penyebab orang masuk neraka. Sifat yang sangat membahayakan karena setan jin menjadikan manusia memandang baik kepada dirinya sendiri. Allah memberikan sinyalemen dengan firman-Nya:

وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَكَانُوا مُسْتَبْصِرِينَ
“Dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah) sedang mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam”(QS.Al-Ankabut(29);38) Supaya hati orang beriman dapat istiqomah dalam bersandar kepada tuhan-Nya, maka hati itu tidak hanya dikuatkan dengan ilmu dan amal saja, tetapi juga terkadang dengan dosa. Itu apabila dengan ilmu dan amal tersebut menjadikan mereka terjebak dalam perangkap setan jin hingga hatinya menjadi sombong dan takabbur. Untuk menghilangkan sifat sombong tersebut, maka Allah menakdirkan hamba-Nya berbuat dosa. Namun bukan dosa yang sengaja dilakukan tetapi terpaksa, karena dosa tersebut tidak dapat dihindari. Bukan dosa yang menjadikan hati orang beriman jauh dari Tuhannya, tetapi dosa yang mampu menerbitkan penyesalan dalam hati dan mendorong untuk bertaubat.

Hati orang beriman harus selalu merasa dekat dengan tuhannya. Dengan kedekatan itu supaya hidup mereka mendapat penjagaan malaikat. Kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya itu tidak selalu ditandai dengan amal lahir saja, seperti sholat dan ibadah haji, tetapi juga dengan amal batin yang mampu mendasari amal lahir tersebut. Hati yang bertakwa dan bertawakkal kepada tuhannya. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.(QS.Fush Shilat(41);30).

Orang beriman yang hatinya yakin bahwa Allah Pemelihara hidupnya, kehidupan orang tersebut akan mendapat penjagaan dari para malaikat. Itu adalah merupakan salah satu kenikmatan ruhani yang bisa dihasilkan ibadah secara istiqomah. Namun, betapapun mereka menjaga kedekatan hati kepada Tuhannya, secara manusiawi, terkadang bisa tumbuh rasa jenuh dalam hatinya. Apabila rasa jenuh sudah mulai tumbuh, maka kenikmatan ibadah yang didawamkan itu menjadi memudar. Akibatnya, perjalanan ruhani tersebut menjadi mandul dan berhenti di tengah jalan.

Untuk menghapus kejenuhan tersebut, terkadang dosa ditakdirkan sebagai obatnya. Namun, datangnya dosa itu semata atas ketetapan (qada’) yang terdahulu, bukan terbit dari kesengajaan manusia. Tanda-tandanya, ketika seorang hamba terpeleset dalam perbuatan dosa, mereka cepat ingat kepada Tuhannya serta menyesali dosanya. Mereka cepat-cepat bertaubat kepada Allah serta tidak berputus-asa akan rahmat-Nya. Dengan yang demikian itu, dengan izin Allah pintu hati yang asalnya tertutup kembali terbuka. Hati seorang musafir yang sedang mandul kembali bergairah karena panasnya bara penyesalan telah mencairkan kebekuan.

Dosa, meskipun itu adalah perbuatan yang tercela, ibarat penyakit, namun terhadap orang yang hatinya terserang penyakit sombong dan takabbur ternyata malah menjadi obat. Dalam kaitan itu, secara garis besar dosa dibagi menjadi dua. Pertama, dosa yang bisa menyebabkan orang masuk neraka. Kedua, dosa yang bisa menyebabkan orang masuk surga. Dalam sebuah haditsnya Nabi SAW bersabda yang artinya: “Terkadang dosa memasukkan pemiliknya ke surga”. Berikut ini contoh dosa yang tidak yang dapat menyebabkan orang masuk neraka:

Pertama: Dosa orang kafir yang menghalang orang lain di jalan Allah. Orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya berarti orang kafir. Mereka berbuat dosa besar. Apabila dosa itu dibawa sampai mati, artinya orang tersebut belum sempat bertaubat dan membaca dua kalimat syahadat, maka dosa kafir itu tidak diampuni, berarti mereka akan menjadi penghuni neraka jahannam untuk selamanya. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ مَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah kemudian mereka mati dalam keadaan kafir, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampun kepada mereka”. (QS.Muhammad(47);34).

Orang membenci sesuatu, secara otomatis pasti juga akan mengajak orang lain membenci sesuatu itu. Oleh sebab itu, orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-Nya, mereka juga berusaha mengajak orang lain untuk ikut kafir bersamanya. Mereka menghalangi orang lain berjalan di jalan Allah. Itu merupakan tanda-tanda bahwa mereka membenci Tuhan semesta alam. Mereka membenci Dzat yang menciptakan dirinya sendiri. Jika sifat kafir tersebut terbawa mati, maka dosanya tidak akan mendapat ampunan untuk selamanya. Hal itu karena selama hidup dan kesempatan yang ada telah mereka gunakan untuk ingkar kepada Tuhannya.

Lain halnya bila sebelum ajal kematian datang mereka mendapatkan hidayah dan masuk islam. Mereka bertaubat dari kebiasaan jelek yang biasa mereka lakukan. Lalu membangun kehidupan dengan amal sholeh dan kebajikan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa yang pernah mereka lakukan. Allah mengabarkan hal itu dengan firman-Nya :

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu”(QS.Al-Anfal(8);38).

Apabila orang kafir itu mau bertaubat dan beriman kepada Allah dan rasul-Nya, berarti dosa kafirnya akan diampuni dan dimasukkan surga bersama orang-orang yang beriman. Apabila sampai mati mereka dalam keadaan kafir, berarti ketetapan yang azali akan berlaku. Berarti, ketetapan azali tersebut sejatinya dapat dirubah oleh manusia. Yakni dengan merubah kejelekan hatinya menjadi kebaikan yang hakiki. Allah menegaskan hal itu dengan firman-Nya yang artinya:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.(QS.Ar-Ra’d(13);11)
Kedua: Orang murtad yang murtadnya dilakukan berulang-ulang. Mereka itu biasanya datang dari golongan orang yang akidahnya tidak kuat. Akibat dari itu, mereka mudah mempermainkan agamanya. Mereka mempertaruhkan kehidupan akhirat dengan harga kehidupan dunia yang sangat murah. Sekedar himpitan ekonomi, terkadang mereka mampu keluar masuk agamanya dengan seenaknya sendiri. Bahkan terkadang mereka menjual iman hanya dengan harga satu bungkus mie instan.

Ketika mereka kembali berkumpul dengan kaum muslimin dan mendapat keuntungan, mereka cepat-cepat menyatakan masuk Islam lagi dengan membaca dua kalimat syahadat. Namun ketika mereka mendapatkan keuntungan dari penganut agama lain, kesulitan hidupnya mendapatkan bantuan dari kelompok yang baru tersebut, mereka kembali menjadi kafir.

Jika hal tersebut terjadi sampai berulang kali. Pagi kafir, siang Islam sorenya kafir lagi, maka akibatnya, sifat kafir itu akan menjadi bertambah kuat dan dosanya tidak diampuni. Orang seperti itu tidak akan mendapatkan hidayah Allah selama-lamanya. Kita berlindung dengan Allah darinya. Allah memperingatkan hal tersebut dengan firman-Nya :

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آَمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus”. (QS.An-Nisa(4);137).

Orang yang suka mempermainkan agama itu, meski mereka bertaubat, tapi taubatnya tidak akan diampuni. Hal itu bukan berarti Allah tidak menolak, ketika seorang hamba benar-benar telah bertaubat kepada-Nya. Sungguh Allah adalah Dzat Yang Maha Menerima taubat hamba-Nya asal taubat itu dilakukan sebelum datangnya ajal kematian. Namun, bagi orang yang suka mempermainkan akidah, mereka akan menjadi sulit melaksanakan taubat dengan benar. Sebab hatinya telah dikotori sendiri oleh dosa murtad yang berlapis-lapis tersebut. Dengan dosa yang berlapis-lapis itu, tentunya menjadikan hati mereka terhalang menerima nur hidayah Allah. Oleh karena mereka terlebih dahulu telah berbuat zalim dengan melupakan diri sendiri, maka Allah melupakan mereka. Sungguh Allah tidak akan berbuat zalim kepada hamba-Nya. Allah telah mengabarkan dengan firman-Nya:

كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim”. (QS.Ali-Imran(3);86).

Dosa murtad tersebut, meski dilakukan orang sekali dalam hidupnya, orang tersebut berarti telah menghapus segala pahala amal ibadah seumur hidup. Mereka itu bagaikan menghancurkan bangunan rumahnya sendiri. Meskipun seketika itu dia sadar dan menyesali perbuatannya, namun rumahnya sudah terlanjur hancur. Apabila dia ingin mempunyai rumah lagi berarti harus membangun kembali mulai dari nol. Bagi orang yang murtad, nol yang kedua berbeda dengan nol yang pertama. Saat nol yang pertama dia masih bersih dari segala dosa sebagaimana fithrahnya, tetapi nol yang kedua adalah nol yang sudah tidak bersih, nol yang kotor karena telah terkontaminasi dosa murtadnya.

Seandainya tidak semata-mata karena rahmat dan karunia Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada hamba-Nya, sulit bagi orang yang pernah murtad dapat kembali membangun agama dan amal ibadahnya. Apalagi jika murtad itu dilakukan berulangkali. Tentu orang tersebut kehabisan jalan yang harus ditempuh, kerena jalan-jalan lurus yang disediakan baginya telah dihancurkan sendiri berulangkali.

Ketiga: Orang munafik yang suka berbuat fasik (melampaui batas), dosa mereka tidak diampuni. Sebab, sifat munafik itu cenderung mendorong mereka berbuat fasik kepada temannya sendiri. Orang munafik suka berbuat yang tidak semestinya dan tidak pada tempatnya serta melampaui batas kewajaran. Mereka cenderung mengikuti hawa nafsu dan setan dengan mengesampingkan akal dan ilmu.

Orang munafik cenderung berbuat zalim kepada saudara dekatnya sendiri. Hal itu karena setiap kemunafikan pasti timbul dari sifat hasut. Dengan perbuatan munafik itu berarti mereka menyangkutkan diri kepada urusan antara sesama manusia atau “haqqul adami”. Mereka berbuat zalim yang dosa tidak diampuni Allah sebelum dosa itu dimaafkan oleh orang yang dizalimi. Oleh sebab itu, sebelum dosa tersebut dimaafkan oleh yang orang yang disakiti, sampai kapanpun Allah tidak memaafkannya.

Terhadap jenis dosa yang semestinya tidak diampuni tersebut, apabila Allah berkehendak mengampuni dosa hamba-Nya di dunia, dosa tersebut harus dikafaroti oleh pemiliknya, yakni penebusan dosa. Kafarot itu dengan mengeluarkan shodaqoh sebagai penebusan dosa. Sebab, sebelum dosa itu dikafaroti, Allah tidak akan mengampuninya. Dalam keadaan seperti itu, apabila orang yang berdosa tersebut tidak juga mengeluarkan kafarot dengan shodaqoh, maka musibah atau fitnah didatangkan kepadanya sebagai gantinya.

Setelah musibah dan fitnah tersebut mampu dijalani dengan sabar dan tawakkal. Orang yang berdosa itu menjadi sadar dan bertaubat atas segala dosa dan kesalahannya, maka Allah akan mengampuni dosa mereka. Yang demikian itu adalah sunnatullah sebagaimana yang telah terjadi terhadap orang-orang terdahulu. Asy-Syekh Abdul Qodir Jailani RA berkata: “Apabila kita terlanjur berbuat dosa, maka dosa itu harus dikafaroti”

Namun, tanpa orang mengeluarkan kafarot sekalipun, apabila Allah berkehendak mengampuni dosa hamba-Nya, dosa tersebut tetap saja akan diampuni. Hal itu bukan karena orang mampu mengalahkan ketetapan sunnah tersebut hingga terlepas dari ancaman musibah di dunia. Akan tetapi itu terjadi semata karena Allah memaafkan kepada sebagian besar dosa hamba-Nya.

Apabila ada orang berbuat dosa yang semestinya harus dikafaroti, tetapi ternyata mereka tidak juga mendapatkan musibah di dunia, hal itu bisa jadi mereka mendapat masa tangguh. Dengan masa tangguh itu supaya ketetapan Allah terhadap seseorang bisa berjalan dengan semestinya. Dengan masa tangguh itu orang yang berbuat mungkar seakan selalu mendapatkan kemenangan di dunia. Tetapi ketika masa tangguh mereka sudah lewat, orang tersebut akan menerima musibah di dunia.

Musibah tersebut bisa jadi dengan penyakit yang menggerogoti jasadnya. Namun sejatinya, musibah itu adalah kafarot bagi orang beriman, supaya mereka mati dalam keadaan dosa yang sudah diampuni. Jika tidak demikian, berarti orang tersebut akan berhadapan dengan siksa yang pedih untuk selama-lamanya di akhirat nanti. Wal ‘iyadu billah. Allah Ta’ala telah mengisyaratkan hal tersebut dengan firman-Nya :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ (30) وَمَا أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ فِي الْأَرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) – Dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di muka bumi, dan kamu tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong selain Allah.” (QS.Asy-Syuraa(42);30-31).
Allah Ta’ala juga telah menegaskan dengan firman-Nya :

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَبَقُوا إِنَّهُمْ لَا يُعْجِزُونَ
“Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah)”. (QS.Al-Anfal(8);59)

Musibah-musibah yang datang kepada orang beriman, itu pasti akibat dosa yang mereka perbuat. Apabila orang beriman mampu menghadapi musibah itu dengan sabar, berarti musibah itu bisa menjadi sarana untuk menyucikan dosa-dosa mereka. Terlebih ketika orang beriman mampu mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya, musibah itu justru dapat mengangkat derajat keimanan dan kemuliaan mereka di hadapan Allah. Oleh karena itu, sebelum musibah datang, orang beriman hendaknya rajin mengeluarkan shodaqoh sebagai kafarot bagi dosa-dosanya, baik yang disadari maupun yang tidak. Sebab, jarang orang sabar menghadapi musibah, terlebih mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya.

Apabila ternyata hati mereka tidak juga mampu menyikapi musibah yang datang itu dengan sabar dan ‘arif. Mereka tidak juga sadar serta memperbaiki amal perbuatannya. Bahkan selalu merasa dirinya yang paling benar, sehingga musibah itu justru berkembang menjadi fitnah yang berkepanjangan, maka: “Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan, Allah tidak akan mengampuni mereka”. Demikian yang dinyatakan Allah dengan dua firman-Nya berikut ini, Allah berfirman :

سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ لَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka; sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”(QS.Al-Munafiqun(63);6).

Munafik identik dengan kafir. Sebab, timbulnya kemunafikan awalnya pasti tumbuh dari ketidakpercayaan. Itu menunjukkan, sejatinya orang munafik bukan orang beriman. Secara lahir mereka seakan beriman, namun sejatinya, hatinya hanya berpura-pura iman. Orang munafik adalah orang yang suka bermuka dua, dalam arti di luar baik tapi di dalamnya jelek. Apabila yang di luar jelek tapi dalamnya baik, itu bukan sifat orang munafik tetapi sifat seorang dokter yang sedang mengobati pasiennya. Dosa munafik lebih berbahaya daripada dosa kafir. Oleh sebab itu, meski dosa mereka dimohonkan ampun orang lain sebanyak 70 kali, tetap saja Allah tidak mengampuni dosa mereka. Hal itu disebabkan, karena dengan sifat munafik itu orang tersebut selalu berbuat fasik kepada sesama manusia. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. Allah telah menegaskan dengan firman-Nya :

اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Kamu mohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik”. (QS.At-Taubah(9);80).
Sumber : http://ponpesalfithrahgp.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar