Kamis, 22 Juli 2010

SYEIKH YUSUF AL-MAKASSARI

Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.
Beliau tercantum namanya sebagai seorang pahlawan nasional Indonesia sejak tahun 1995, beliau lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, (dekat Makassar) pada 03 Juli 1626 dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibunda Syekh Yusuf, keluarga Gallarang Monconglo'E adalah keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.
Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang belajar mengaji pertama kali pada Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada syekh terkenal di Makassar saat itu yakni Sayyid Ba-lawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Jalaludin Al-Aydit. Kembali dari Cikoang Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah sampai mendapat ijazah Tariqat Qodiriyah. Dari Aceh Syekh Yusuf juga berangkat mencari ilmu ke Yaman, dan berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi sampai mendapat ijazah tarekat Naqsabandiyah. Ijazah tarekat Assa'adah Al Ba'laiyah juga diperolehnya dari Sayyid Ali Al-Zahli. Ia juga melanglang ke se-antero Jazirah Arab untuk belajar agama. Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah, diperolehnya saat berguru kepada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi dari Syam (Damaskus). dilanjutkan dengan pendalaman bahasa Arab, ilmu fikih, dan tasawuf.
Setelah sampai di Jeddah, Syekh Yusuf meneruskan perjalanannya ke mekkah dan Syekh Yusuf ingin menuntut ilmu kepada imam-imam dari 4 mazhab, tetapi ke empat imam tersebut mengatakan bahwa ia tidak perlu belajar karena ilmu yang Syekh Yusuf punyai sudah cukup. Tetapi imam-imam tersebut menganjurkan agar Syekh Yusuf belajar kepada Abu Yazid, Dari sini Syekh Yusuf disuruh lagi belajar kepada Syekh Abdul Al-Qadir Al Jailani. Syekh Yusuf juga mengunjungi makam Nabi di madinah. Kemudian Syekh Yusuf kembali ke Banten dan menikah dengan putri sultan Banten yang bernama Syarifah. Setelah raja gowa mendengar bahwa Syekh Yusuf berada di Banten, raja Gowa mengirim utusan agar supaya Syekh Yusuf kembali ke tanah Gowa. Akan tetapi Syekh Yusuf menolak dengan pernyataan bahwa beliau tidak akan kembali ke Gowa apa bila kesufiaannya tidak sempurna (Sufi yang dimaksud yakni akhir kehiduapannya) maka sebelum beliau mati beliau tidak akan pernah kembali ke Gowa. Di Banten Syekh Yusuf mempunyai banyak murid dan murid-murid Syekh Yusuf juga ada dari kalangan istana kerajaan di Jawa Barat. Dari pernikahannya Syekh Yusuf dengan putri Banten diberikan keturunan anak laki-laki. Kemudian Syekh Yusuf menikah juga dengan seorang wanita dari Serang dan Giri yang juga mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan sehingga keturunan Syekh Yusuf di Jawa banyak.
Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, akhirnya beliau pulang ke kampung halamannya di Gowa. Tapi ia sangat kecewa setelah melihat kampung halamannya porak poranda dan maksiat merajalela, saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, beliau kembali merantau pada tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara. Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji besert aKompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar. Namun karena kekuatan yang tak sebanding, maka akhirnya pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682. Mualilah babak baru bagi kehidupan Syekh Yusuf, hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini beliau memulai perjuangan baru. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, yang kebanyakan berasal dari India Selatan. Beliau juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf. termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, beliau juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini. Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; beliau diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, ke Afrika Selatan pada bulan Juli 1693. Menekuni jalan dakwah pada bulan-bulan pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya di Afrika selatan. Untuk pertama kalinya mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar). Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam disana adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru.Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut. Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagi bertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun. Ia tinggal di Tanjung Harapa nsampai wafat tanggal 23 Mei 1699 di Cape Town Afrika Selatan dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan tugu peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar